NKRI Bersyariah ATAU Ruang Publik Yang Manusiawi?

(Seri bedah esai yang ditulis Denny JA, Ph.D)

 

Kita harus mengetahui dulu apa itu NKRI bersyariah. NKRI sendiri merupakan singkatan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia di mana rakyat memiliki andil dalam pemerintahan. Rakyat turut mengkawal jalannya pemerintahan karena bentuk pemerintahan yang berkedaulatan rakyat, dimana artinya kebahagiaan dan kesejahteraan ujung-ujungnya untuk kemakmuran rakyat.

Sedangkan syariah adalah hukum atau peraturan yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia,  baik di dunia maupun di akhirat. Dr. H. Azhari Akmal Tarigan seorang guru besar UIN Sumatera Utara menyebut bahwa syariah adalah jalan yang memuat suatu sistem norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya manusia dengan manusia dan manusia dengan alam, dimana bentuknya berupa aturan-aturan yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah yang dimaksud disini adalah Tata aturan Ilahi yang mengatur hubungan ritual langsung antara hamba atau makhluk dengan Tuhannya yang Tata caranya telah ditentukan secara rinci sebagaimana yang terdapat dalam Alquran dan Hadis. Yang  tersimpul dalam rukun Islam yaitu syahadat, salat, zakat, puasa dan haji.   Kemudian muamalah memuat aturan-aturan dalam konteks hubungan sesama manusia dalam maknanya yang luas muamalah ini dalam Alquran dan hadis tidak diatur secara rinci melainkan diungkap dengan menyebut garis garis besarnya saja.      (Azhari: 2012) Sehingga dapat disimpulkan bahwa NKRI Syariah adalah sebuah bentuk pemerintahan yang berdasarkan pada syariah dan ketetapan Allah agar tercapai tujuan di dunia dan akhirat.

Hukum di Indonesia sendiri merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena Indonesia merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum agama karena sebagian besar masyarakat Indonesia mayoritas Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak, sebut saja di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang sifatnya merupakan penerusan dari aturan-aturan suatu wilayah dari masyarakat setempat  dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara lainnya. (Sumber: Wikipedia)

Oleh karena itu NKRI bersyariah selalu disebut-sebut sebagai usulan yang cemerlang. Hal ini dikemukakan oleh seorang Habib besar yang kapasitas ilmunya mengumpuni akan hal tersebut. Bagi saya pribadi hal tersebut sah-sah saja selama banyak pihak yang menyetujui dan dapat terealisasi dengan baik. Akan tetapi masalahnya adalah hal tersebut bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi negara, kata beberapa pihak lain, dimana Pancasila lahir dari perjanjian luhur bangsa Indonsesia.

Tapi yang jelas NKRI bersyariah masih sekedar usulan, jadi tak perlu repot untuk mengantisipasi hal-hal yang berkaitan dengannya dengan berontak menyuarakan hal yang belum jelas akan wujudnya, karena memang sistem pemerintahan yang ada saat ini memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Jadi, jika kelebihan itu dirasa baik maka perlu dilanjutkan dan ditingkatkan dan jika ada kekurangan maka gantilah dengan inovasi yang lebih menjanjikan.

Mungkin harapan usulan NKRI bersyariah untuk menajamkan hukum yang benar-benar merata dan memiliki efek jera yang berlangsung lama. Seperti yang diketahui bersama negara kita yang katanya merupakan negara hukum, semua orang sama dimata hukum tapi realitanya tidak demikian. Mungkin sudah bukan rahasia lagi bahwa hukum yang dipakai saat ini ibarat pisau yang tajam ke bawah tapi tumpul diatasnya. Sebut saja hukum yang beberapa lalu sempat menyebar luas dari kalangan bawah, yaitu seorang nenek yang mencuri ubi langsung divonis penjara di dalam sel, sedangkan para pencuri berskala besar (sebut mereka koruptor) terkesan proses hukumnya terasa lama walau mereka juga dipenjara dengan sel mewah yang berbeda dari kalangan bawah. Jadi dimana letak persamaannya dimata hukum? Jika saja menggunakan hukum syariah yang berlandaskan pada nilai Islami yang hakiki, maka hukuman bagi para pencuri adalah tetap potong tangan. Sehingga kejadian tersebut tidak akan mungkin teulang lagi, karena hukumannya yang keras. Oleh karenanya perlu gebrakan baru untuk hukum yang benar benar kokoh seperti gunung yang menjadi pasak bagi bumi.

Jika data yang dijadikan acuan dalam menentukan tingkat kesejahteraan seperti yang diuraikan oleh Denny JA tentang indeks Islamicity dan juga Happiness Index, dimana hasilnya menyebutkan bahwa hasil Islamicity Index berdasarkan arahan kitab suci Alquran hasilnya tak banyak beda dengan World Happiness Index yang mana mayoritas penduduk yang menganut agama Islam kalah ranking dengan orang-orang Barat dalam hal mempraktekkan nilai yang Islami.

Maka lihatlah bagaimana fakta dan realita yang ada. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa data sedikit banyaknya dapat dimanupalsi dengan berpatokan beberapa sampel dari populasi yang ada. Bisa dikatakan data yang terkumpul tak seutuhnya menggambarkan realita yang ada, karena terbatasnya informasi yang dijadikan sampel. Tampak dipermukaan bukan berarti timbul dari pedalaman. Belum tentu juga sampel tersebut adalah yang terbaik dari yang terbaik, bisa saja taksiran mengada-ada muncul di tengah-tengah data (kita tidak pernah tau itu karena yang kita perhatikan hanya hasil dari pengolahan data yang telah dirilis).
Kemudian Denny JA menyebutkan pertanyaan yang menggelitik dimana isinya menyebutkan “manakah yang lebih kita pentingkan? Label? Atau substansi? Label Islam atau praktek nilai Islami?”  Baik label, substansi, label Islam maupun praktek nilai Islami sama-sama memiliki arti penting dan memiliki hubungan keterkaitan satu sama lain.  Tanpa label mustahil substansi ajaran Islam dilaksanakan, dan hal ini tergantung dari masing-masing tingkat ketaatan dalam melaksanakannya.

Jalan musyawarah merupakan salah satu identitas bangsa Indonesia. Pancasila juga lahir dari hasil mufakat yang disebut sebagai Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia, karenanya jangan pernah berontak atau boikot seorang pemimpin yang mengambil keputusan. Masalah keputusan tersebut baik atau tidak dalam ruang publik yang manusiawi selama tidak ada larangan dalam ketetapan Tuhan maka ikutilah, karena sesungguhnya semua kehidupan ini akan berakhir sampai ajal menjemput. Seperti kata pepatah Arab bahwa ketidaksempurnaan yang kita miliki adalah sulaman benang rapuh untuk mengikat sesama umat menjadi satu yang kokoh dan juga jangan pernah menghitung apa yang telah kau berikan, tapi ingatlah apa yang telah kau terima selama berada di dalam pemerintahan Indonesia ini.

 

Referensi:

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Republik/diakses pada 31/01/2019

Tarigan, Azhari Akmal. 2012. Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi: Sebuah Eksplorasi Melalui Kata-Kata Kunci dalam Al-Qur’an. Bandung: Citapustaka Media Perintis.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.